PENDAHULUAN
Dewasa
ini, Filsafat merupakan kata majemuk yang berasal dari bahasa Yunani, yakni philosophia dan philosophos[1].
Yang dimaksudkan disini adalah dalam arti seluas-luasnya, yaitu ingin dan
dengan rasa keinginan itulah ia berusaha mencapai atau mendalami hal yang
diinginkan.[2]
Kemudian,
orang Arab memindahkan kata Yunani philosophia ke dalam bahasa arab menjadi falsafa, fa’ala dan fi’lal. Karena itu kata benda dari kata kerja falsafa
seharusnya falsafah atau fisfat.[3]
Dalam
filsafat islam banyak sekali tokoh-tokoh yang mencuatkan pemikirannya. Salah
satunya adalah Seyyed Hussein Nasr. Lebih dari 50 buku dan 500 artikel yang
ditulisnya telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, Seyyed Hossein Nasr memberikan
pandangan bahwa, krisis-krisis eksistensial ataupun spritual yang dialami oleh
manusia adalah bermula dari pemberontakan manusia modern kepada Tuhan. Yaitu
ketika manusia meninggalkan Tuhan demi mengukuhkan eksistensi dirinya. Manusia
telah bergerak dari pusat eksistensinya sendiri menuju wilayah pinggiran
eksistensi.[4]
Fenomena ini tidak saja dialami oleh
dunia Barat tapi juga di dunia Timur secara umum dan dunia Islam secara
khususnya juga telah melakukan kesalahan-kesalahan dengan mengulangi apa yang
telah dilakukan Barat.[5]
Dalam makalah ini penulis mencoba untuk
menguraikan berbagai bentuk pemikiran Seyyed Hossein Nasr yang berkaitan dengan
permasalahan tersebut di atas agar kita bisa lebih mendalami pemikirannya
khususnya pada bidang Islamisasinya.
PEMBAHASAN1.
Kehidupan
Sayyid Husein Nasr lahir di Teheran, Iran, 7 April 1933. Dari
keluarga terpelajar. Ayahnya, Sayed Waliyullah Nasr adalah dokter dan pendidik
pada dinasti Qajar, kemudian diangkat sebagai pejabat setingkat menteri pada
dinasti Reza Syah. Pendidikan awalnya dijalani di Teheran ditambah dari orang
tuanya secara ketat, kemudian di Qum dalam bidang al-Qur’an, syair-syair Persia
Klasik dan Sufisme.
Nasr kemudian melanjutkan pendidikan di Massachusetts Institute of Technologi (MIT), AS dan meraih gelar
B.Sc dalam bidang fisika dan matematika teoritis pada tahun 1954 dan seterusnya
meraih MSc dalam bidang geologi dan geofisika dari Harvard. Namun, pada jenjang
berikutnya, Nasr lebih tertarik pada filsafat sehingga meraih gelar Ph.D dari
Harvard tahun 1958, dalam bidang sejarah ilmu pengetahuan dan filsafat dengan
desertasi berjudul An Introduction to
Islamic Cosmological Doctrine dibawah promoter HAR. Gibb. Selama menempuh
pendidikan di Amerika, khususnya di Harvard, Nasr banyak mengenal pemikiran
tokoh filsafat Timur, seperti Gibb, Massignon, Henry Corbin, Titus Burckhardt
dan Schoun. [6]
Setelah itu, tahun 1958, Nasr pulang ke Iran. Disini ia
lebih banyak mendalami filsafat Timur dan filsafat tradisional dengan banyak
berdiskusi bersama para tokoh terkemuka agama Iran, seperti Thabathabai, Abu
Hasan al-Qazwini dan Kaziz Asar. Dalam kegiatan akademik, Nasr mengajar di
Universitas Teheran, menjadi dekan fakultas Sastra pada lembaga yang sama tahun
1968-1972, dan tahun 1975-1979 menjadi direktur Imperial Iranian Academy of Phylosophy, sebuah lembaga yang
didirikan dinasti Syah Reza Pahlevi, untuk memajukan pendidikan dan kajian
filsafat.[7]
Nasr berhasil dalam tugas ini sehingga diberi gelar kebangsawaan oleh Syah.
Kredibilitas Nasr sebagai intelektual dan akademisi, tidak
hanya dikenal dinegaranya sendiri tetapi juga diakui di negeri lain, sehingga
sering diundang seminar atau kuliah diluar negeri. Antara lain, member kuliah
tamu di Harvard, Amerika tahun 1962-1965; di Universitas Amerika di Beirut
tahun 1964-1965, menjadi direktur dilembaga Aga Khan untuk kajian islami pada
universitas yang sama. Nasr juga memberikan makalah pada Pakistan Philosophical
Congress, di Pakistan tahun 1964. Memberikan kuliah di Universitas Chicago,
tahun 1966 atas sponsor Rockefeller Lectures, lembaga yang didirikan oleh
Universitas Edinburg tahun 1889.
Selain itu, tahun 1967, Nasr bersama Muthahhari juga
bergabung dengan Husainiyah Irsyad, sebuah organisasi atas prakarsa Ali
Syariati, Nasr dan Muthahhari akhirnya mengundurkan diri dari organisasi
tersebut. Masalahnya, menurut Nasr, Ali Syariati telah membawa faham liberation
theology dari Marxisme dan Barat ke dalam Islam, berupaya menyajikan Islam
sebagai kekuatan revolusioner dengan mengorbankan dimensi kerohanian islam,
sering melancarkan kritik terhadap ulama tradisional, dan menyalahkan lembaga
itu untuk kepentingan politik.
2.
Karya
Nasr banyak menghasilkan karya tulis. Antara lain, An Introduction to Islamic Cosmological
Doctrines (Desertasi, London, Thames and Hudson Ltd, 1978); Ideals and Realities of Islam (London,
George Allen& Unwim Ltd, 1966), Islamic
Studies, Essays on Law and Society, The Sciences, and Phylosophy and Sufisme
(Beirut, Librairie Du Liban Press, 1967); The
Encounter of Man and Nature, the Spiritual Crisis of Man and Nature
(London, George Allen & Unwim Ltd, 1968), berisi meteri perkuliahan di The
University of Chichago, bulan Mei 1966; Science
and Civilization in Islam (Harvard, Harvard University Press, 1968), berisi
tentang berbagai hal dari perspektif islam; Sufi
Essays (London, George Allen &Unwim Ltd, 1972) berisi kumpulan artikel
tentang sufi dan sufisme yang tersebar dalam berbagai jurnal ilmiah; Islam and The Plight of Modern Man
(London, Longman Press, 1975); Knowledge
and The Sacred (Edinburg, Edinburg University Press, 1981) berisi obsesi
Nasr membangun filsafat berlandaskan tradisi universal yang berlaku sepanjang
zaman.[8]
Selain itu beberapa karya yang penting seperti Living Sufism, The Trancendent Theosophy of
Sadr al-Din Shirazi, Islamic Life and Thought, World Spiritually (Theology,
Philosophy, and Spiritually, Three Muslim Sages) dan yang lainnya.[9]
Nasr juga aktif menulis untuk jurnal-jurnal ilmiah di
berbagai Negara, antara lain, Journal Milla
wa Milla (Melbourne, Australia), Journal Iran (terbit di London), Studies in Comparative Religion (London,
Inggris), Religion Studies
(Cambridge, Inggris), The Islamic
Quartelly (London, Inggris), Hamdard
Islamicus dan Word Spiritually.
3.
Garis
Besar Pemikiran Tokoh
Salah satu tokoh yang
banyak mempengaruhi Nasr adalah Rene Guenon.[10]
Rene Guenon merupakan salah satu tokoh yang banyak mempengaruhi orientasi tradisionalisme
Nasr. Mengenai spritualisme islam, sayyed
hossein nasr menyoroti keadaan umat islam secara umum terutama yang menyangkut
asas hidup peradaban islam itu sendiri. Menurut Nasr, saat proses pembaratan
terhadap umat islam sudah mengalami titik puncak dalam hal-hal tertentu,
beberapa bagian dimensi kehidupan, terutama tentang moral, politik, ekonomi dan
sains mengalami westernisasi yang luar biasa. Indikasi lewat jaringan IPTEK, maka
segala pembaratan itu menyebar dengan cepat.
Menurut Azra,
pemikiran Nasr bisa dimasukan ke dalam beberapa model berfikir yaitu
posmodernis, neo-modernis, atau neo-sufisme.[11]
Nasr salah satu penyuara anti modernisme Islam yang ada di Barat yang juga
seorang ahli sain modern yang berpendidikan Barat. Dari Timur ia mewarisi akar
tradisi mistis dari Persia sebagai salah satu pusat tradisonalitas Islam,
diajari bagaimana memaknai Islam dari lahir hingga batin berdasarkan akar
pemikiran Syi’ah, disisi lain ia juga seorang ahli ilmu terapan yang
dipelajarinya dari Barat modern. Sehingga juga tepat jika ia sebenarnya adalah
seorang neo-tradisionalis .[12]
Untuk mewujudkan nilai spiritualitas islam secepatnya
mengembalikan kepada kekuatan nilai-nilai islam yang sudah terbaratkan. Agama
sebagai basis kekuatan moral sains sudah tidak mempunyai arti apa-apa. Sebab,
islam saat ini yang bangkit bukan islam abad pertengahan, atau islam klasik,
melainkan islam yang membawa nuansa baru dalam tatanan yang lebih komprehensif.[13]
Pemikiran Nasr
tersebut jelas bahwa akar-akar peradaban islam yang dibangunnya tidak
sepenuhnya terilhami barat. Ia menitikberatkan segi-segi subtansial dari makna
islam termasuk ketika mengambil ilmu pengetahuan barat, sangat diperlukan suatu
sikap islami.[14]
Nasr lebih mengupayakan suatu pendekatan baru terhadap islam tanpa meninggalkan
dunia batin. Sehingga umat islam akan seimbang antara batin dan lahiriahnya.
Pemikiran nasr
di bidang lainnya adalah pemikirannya dalam bidang metafisika, karena beliau
dipengaruhi oleh pemikiran Geogio De Santillana .Dari kedua ini Nasr banyak mendapat
informasi dan pengetahuan tentang filsafat Timur, Khususnya yang berhubungan
dengan metafisika. Dia diperkenalkan dengan tradisi keberagamaan di Timur.
·
Agama
Untuk memahami
tradisi secara lebih baik, maka perlu adanya pembahasan tentang hubungan
tradisi dengan agama. Agama (religion),
juga memiliki akar yang hampir sama, yaitu "mengikat" (dari bahasa
Latin religere). "Religio" adalah pengikat (Religat) antara manusia dan langit
dengan melibatkan keseluruhan wujudnya; sementara" traditio” berkaitan
dengan realitas.[15]
Jadi agama merupakan pengikat antara manusia dengan Tuhan sekaligus juga antara
manusia dengan manusia dalam sebuah komunitas sakral, yang oleh muslim disebut
ummah. Sedangkan dalam pengertian universal, tradisi dapat juga dianggap
mencakup prinsip-prinsip yang mengikat manusia
dengan langit, yaitu agama[16].
Pada arti itulah dapat dipahami bahwa agama dapat dikatakan sebagai asal usul
tradisi. Sebagai suatu yang berasal dari langit melalui wahyu, memunculkan
prinsip-prinsip tertentu, yang aplikasinya dapat dianggap sebagai atau berupa
tradisi. Sehingga agama cakupannya lebih luas dari pada tradisi karena agama
merupakan asal dari tradisi.
Adapun agama secara
objektif mengandalkan adanya realitas suprim yang bersifat personal, yaitu yang
memiliki kehendak dan kemampuan mewahyukan keberadaan kepada manusia, serta
memiliki wewenang dan kebebasan. Sedang secara subjek, agama mengandalkan
adanya kemampuan manusia untuk menerima kebenaran yang diwahyukan, yaitu adanya
iman.[17]
· Orthodoksi
Tradisi akan selalu mengimplikasikan
adanya ortodoksi, bahkan lebih dari itu, ortodoksi tidak dapat dipisahkan dari
keduanya.[18]
Nasr menyatakan bahwa ortodoksi merupakan kriteria utama penilaian tradisional
atau tidak suatu ajaran didasarkan atas pandangannya bahwa tidak ada tradisi
tanpa ortodoksi serta tidak ada kemungkinan ortodoksi di luar tradisi. Ajaran
dapat dikatakan tradisional apabila menyiratkan kebenaran yang kudus, yang
langgeng, serta penerapan bersinambungan (prinsip-prinsipnya) yang langgeng
terhadap berbagai situasi ruang dan waktu. Atas dasar ini para tradisionalis
menerima wahyu (kalam Tuhan) baik kandungan maupun bentuknya sebagai permulaan
duniawi kalam abadi Tuhan yang tercipta tanpa asal-usul temporal. Disamping
itu, mereka mempertahankan, meminjam istilah Islam- Syari'ah sebagai hukum
Tuhan. Namun mereka menerima kemungkinan meberikan pandangan-pandangan
berdasarkan prinsip-prinsip legal (Ijtihad).[19]
C.
PEMIKIRAN
FILSAFAT
Pemikiran yang sangat mempengaruhi Nasr adalah pandangan
filsafat perennial.[20]
Diantara para tokohnya yang paling berpengaruh atasnya adalah Frithjof Schuon
seorang perenialis sebagai peletak dasar pemahaman eksoterik dan esoterik
Islam.[21]
Nasr sangat memuji karya Schuon yang berjudul Islam and Perennial Philoshopy. Sehingga Nasr memberikan gelar
padanya sebagai My Master.
Yang dimaksud Nasr dengan filsafat perennial adalah kearifan
tradisional dalam Islam. Pikiran-pikiran Nasr disekitar ini muncul sebagai reaksi
terhadap apa yang dilihatnya sebagai krisis manusia modern. Peradaban modern khususnya
di Barat dan ditumbuh kembangkan di dunia Islam menurut Nasr telah gagal
mencapai tujuannya, yakni semakin terduksinya integritas kemanusiaan.
Nasr menjelaskan : Manusia modern telah lupa siapakah ia
sesungguhnya. Karena manusia modern hidup di pinggir lingkaran eksistensinya;
ia hanya mampu memperoleh pengetahuan tentang dunia yang secara kualitatif
bersifat dangkal dan secara kuantitatif berubah-ubah. Dari pengetahuan yang
hanya bersifat eksterbal ini, selanjutnya ia berupaya merekonstruksi citra
diri. Dengan begitu manusia modenr semakin jauh dari pusat eksistensi, dan
semakin terperosok dalam jeratan pinggir eksistensi. [22]
Dengan demikian, filsafat perennial Seyyed Hossein Nasr
adalah respon yang dimunculkannya setelah melihat dengan seksama krisis manusia
modern. Karenanya topik yang paling menonjol dari pemikiran filsafatnya adalah
tentang pembebasan manusia modern dari perangkap dan keterpasungna budaya dan
peradaban yang diciptikan manusia sendiri. Topik ini terangkum dalam apa yang
disebutnya sebagai sufisme atau aliran tradisional.
1.
Pembelaan Nasr terhadap Sufisme
Nasr berpandangan
amat postif tentang peranan sufisme dalam sejarah Islam. Dicontohkannya, vitalitas
keagamaan yang dimiliki pribadi ulama klasik yang refleksinya tampak pada
karya-karya besar mereka merupkana pengejawantahan kedalaman penghayatan mereka
terhadap nilai-nilai esoterik Islam. Bahkan dalam penyebaran agama Islam
khususnya di India, Asia Tenggara dan Afrika selalu diawalai oleh keteladanan
pribadi sufi, pemimpin tarekat, kemudian diikuti penataan syari’at. Oleh karena
itu, menurut Nasr, sufisme tidak bisa dijadikan kambing hitam atas segala
penyakit yang ada dalam masyarakat Islam.
Kemunduran umat Islam
menurut Nasr, justru antara lain disebabkan penghancuran tarekat sufi oleh
bentuk-bentuk baru rasional puritan seperti Wahabisme di Arabia dan Ahl
al-Hadis di India. Akibatnya menurut Nasr, dengan menolak sufisme dan
mengkambing hitamkannnya sebagai penyebab kemunduran umat, Islam direduksi
sampai tinggal doktrin fiqh yang kaku, yang pada gilirannya tidak berdaya
menghadapi serangan bertubi-tubi intelektual Barat.
Bagi Nasr, sufisme
ibarat jiwa yang menghidupkan tubuh. Dalam Islam, sufisme merupakan jantung (the
heart) dari pewahyuan Islam. Sufisme telah menghidupkan semangatnya ke
dalam struktur Islam, baik dalam manifestasi sosial dan intelektual.
Tarekat-tarekat Sufi, sebagai institusi terorganisasi dalam matriks yang lebih
besar masyarakat itu juga, ada kelompok sekunder yang berfasilitas dengan
tarekat, seperti kelompok, bahwa berabgai isu dalam sejarah Islam tidak akan
bisa dipecahkan tanpa memperhitungkan peran yag dimainkan sufisme.
2.
Sufisme sebagai alternative pembebasan manusia modern.
Sebagai dijelaskan
diatas bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah menghantarkan
manusia modern ke jurusan hakikatnya yang nista. Mereka mengalami kekeringan
batin yang memerlukanupaya mendesak untuk penyembuhannya.Nasr menegaskan, lebih
awal perlu dipahami bahwa sufisme dalam Islam berbda dengan sufise pada agama
lain. Oleh karena itu, sufisme dalam Islam harus dipahami melalui sumbernya
yakni al-Qur’an dan Hadis/pola hidup Nabi Muhammad SAW, dan seseorang tidak
bisa masuk ke jalur tarbiyah- metode pendakian spritual yang khusus bagi
sufi-sebelum memasuki lingkaran syari’at.
Pada masyarakat
modern-khususnya di Barat sufisme dapat mempengaruhi masyarakat pad tiga
tataran:
Pertama: kemungkinan mempraktikan sufisme secara
aktif. Cara ini kata Nasr hanya untuk segelintir orang saja, karena
mensyaratkan penyerahan mutlak kepada disiplin tasauf. Pada tataran ini, orang
harus mengikuti Hadis Nabi:”Matilah kamu sebelum engkau kamu Mati”. Maksudnya,
orang harus ”mematikan” diri sebelum dilahirkan kembali secara spritual. Pada
tahap ini orang harus membatasi kesenangan terhadao dunia materi dan kemudian
mengarahkan hidupnya untuk bermeditasi, berdoa, mensucikan batin, mengkaji hati
nurani, dan melakukan praktik-praktik ibadah lain seperti yang lazim dilakukan
para sufi.
Kedua, sufisme mungkin sekali dapat
mempengaruhi masyarakat modern dengan cara menyajikan Islam dalam bentuk yang
lebih menarik, sehingga orang dapat menemukan praktik-praktik sufisme yang
benar. Intinya adalah sajian Islam yang mengintegral antara aspek spritual
Islam dengan sufisem sebagai esensinya. Dengan aktifitas duniawi yang profan.
Dengan begitu, sufisme Islam membuka peluang lebih besar bagi pencarian
spritual barat yang tengah dilanda krisis makna hidup.
Ketiga, menfungsikan sufisme sebagai alat bantu
untuk recollection (mengingatkan) atau reawakening (membangunkan)
orang Barat dari tidurnya. Karena sufisme merupakan tradisi yang hidup dan kaya
dengan doktrin-doktrin metafisis, kosmologis, sebuah psikologi dan psiko-terapi
religius yang hampir tak pernah dipelajari di Barat, maka ia dapat menghidupkan
kembali bergerak aspek kehidupan rohani Barat yang selama ini tercampakkan dan
terlupakan.
Pemenuhan aspek
batini/spritual ini- sebagai berulang kali dinyatakan Nasr- sangat mendesak
bagi masyarakat modern. Memang secara fitrati tak mungkin diingkari, karena
manusia memiliki dimensi rohani. Oleh karena itulah Nasr mengatakan bahwa
pencarian spritual dan mistikal bersifat prennial, yakni suatu kewajaran yang
natural dalam kehidupan individu dan kolektif manusia. Ketika masyarakat
manusia berhenti mengakui kebutuhan yang natural (fitrati) ini, maka pada saat
itu pula masyarakat tersebut ambruk ditimpa beban berat strukturnya.[23]
D. KESIMPULAN
Sayyed Hossein Nasr adalah seorang
intelektual dan akademisi yang luar biasa. Sudah banyak karya-karya yang beliau
ciptakan, mulai dari essay sampai buku-buku. Beliaupun mempunyai garis besar
pemikiran yang beragam, diantaranya
tentang spiritualisme islam, saat pembaratan terhadap umat islam sudah mengalami
titik puncak pada hal tertentu, beberapa dimensi kehidupannya mengalami
westernisasi. Lainnya dalam bidang metafisika yang dipengaruhi oleh George De
Santillana. Sedangkan pemikiran beliau tentang agama adalah bahwa agama secara
objektif yaitu mengandalkan adanya realitas suprim yang personal, sedangkan
agama dipandang secara subjektif ialah agama mengandalkan adanya kemampuan
manusia untuk menerima kebenaran yang diwahyukan.
Dalam pemikiran filsafat, beliau memberikan pandangan pada filsafat perennial.
Yang dimaksud Nasr
dengan filsafat perennial adalah kearifan tradisional dalam Islam.
Pikiran-pikiran Nasr disekitar ini muncul sebagai reaksi terhadap apa yang
dilihatnya sebagai krisis manusia modern. Peradaban modern khususnya di Barat
dan ditumbuh kembangkan di dunia Islam menurut Nasr telah gagal mencapai
tujuannya, yakni semakin terduksinya integritas kemanusiaan. Dengan demikian,
filsafat perennial Seyyed Hossein Nasr adalah respon yang dimunculkannya
setelah melihat dengan seksama krisis manusia modern.
E. PENUTUP
Demikian makalah ini kami buat, jikalau terdapat salah-salah kata ,
ucapan maupun perbuatan yang kurang berkenan dengan hati saudara sekalian, kami
mohon maaf sebesar-besarnya. Semoga bermanfaat kepada para pembaca pada umumnya
dan pada penulis pada khususnya. Kami berharap adanya saran, komentar ataupun
kritik yang membangun untuk kita.
DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azumardi. “Memperkenalkan
Pemikiran Hossein Nasr”, dalam Seminar Sehari: Spiritualitas, Krisis Dunia
Modern dan Agama Masa Depan. Jakarta: Paramadina. 1993.
Bertens,
K.. Sejarah Filsafat Yunani.
Yogyakarta: Yayasan Kanisius. 1984. Cet. IV.
Nasr, Seyyed Hossein. Islam dan Nestapa Manusia Modern.
Bandung: Penerbit Pustaka. 1983.
__________________. Knowledge
and the Sacred. Pakistan: Suhail Academy,
Lahore. 1988.
__________________. Man and Nature: The Spritual Crisis of
Modern Man. London: Mandala Books. 1976.
__________________. Spiritualitas
dan Seni dalam Islam. Bandung: Mizan. 1993.
__________________.
Islam dalam Cita dan Fakta. Terj.
Abdurrahman Wahid dan Hashim Wahid. Jakarta: PT Panca Gemilang Indah. 1983.
_________________. Islam Tradisi di Tengah Kancah Manusia
Modern. Terj Lukman Hakim. Bandung: Pustaka. 1994.
_________________.
Knowledge and The Sacred. Pakistan: Suhail
Academy. Lahore. 1988.
_________________.
Menjelajah Dunia Modern. Jakarta:
Mizan. 1994.
_________________.
Traditional Islam in The Modern Word.
London: Worts-Power Associates. 1987.
Nasution,
Harun. Falsafat Agama. Jakarta: Bulan
Bintang. 1973. Cet. I.
Nasution,
Harun. Perkembangan Modern dalam Islam.
PT Midas Surya Grafindo. 1985.
Permata, Ahmad
Norma. Perennialisme: Melacak Jejak
Filsafat Abadi. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. 1996
Sani,
Abdul. Lintasan Sejarah Pemikiran
Perkembangan Modern dalam Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 1998.
Soleh,
A. Khudori. Wacana Baru Filsafat Islam.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004.
Taufik,
Akhmad. Sejarah Pemikiran dan Tokoh
Modernisme Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2005.
Zar,
Sirajuddin. Filsafat Islam Filosof dan
Filsafatnya. Jakarta: RajaGrafindo Persada. 2004
[1] K.
Bertens. Sejarah Filsafat Yunani.
Yogyakarta: Yayasan Kanisius. 1984. Cet. IV. Hal 13
[2]
Sirajuddin Zar. Filsafat Islam Filosof
dan Filsafatnya. Jakarta: RajaGrafindo Persada. 2004. Hal 2-3.
[3] Harun
Nasution. Falsafat Agama. Jakarta:
Bulan Bintang. 1973. Cet. I. hal 7.
[4] Seyyed
Hossein Nasr. Man and Nature: The
Spritual Crisis of Modern Man. London: Mandala Books. 1976. Hal. 63.
[5] Seyyed
Hossein Nasr. Islam dan Nestapa Manusia
Modern. Bandung: Penerbit Pustaka. 1983. Hal. 20.
[6] A.
Khudori Soleh. Wacana Baru Filsafat Islam.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004. Hal 317
[7] Lembaga
ini merupakan kelanjutan dari Institut Franco-Iranien yang didirikan pada tahun
1946 di Teheran. Lembaga ini merupakan departemen pengkajian tentang keiranan
yang didirikan oleh departemen perhubungan dan jebudayaan Perancis dengan
tujuan awalnya memulai serangkaian publikasi teks kepada dunia islam
kontemporer dan barat.
[8] A.
Khudori Soleh. Wacana Baru Filsafat Islam.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004. Hal 320
[9] Abdul
Sani. Lintasan Sejarah Pemikiran
Perkembangan Modern dalam Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 1998.
Hal 281.
[10] Pemikir
ini banyak memberikan kontribusi mengenai pandangan-pandangan metafisis dalam
filsafat perenial, yang berisi kritik atas filsafat Barat modern. Dan yang
paling urgen adalah dia juga seorang tokoh utama dalam perspektif tradisional
di dunia modern yang banyak berbicara tentang makna tradis.
[11]Azumardi Azra, “Memperkenalkan
Pemikiran Hossein Nasr”, dalam Seminar Sehari: Spiritualitas, Krisis Dunia
Modern dan Agama Masa Depan (Jakarta: Paramadina, 1993), h. 35.
[12] Kata
neo berarti baru diantara disionalis berarti penyokong aliran tradisionalisme.
Jadi dapat dikatakan bahwa neo-tradisionalis adalah seorang yang menganut
tradisinalisme berpikir model baru; atau pembaharu tradisionalisme Islam. Lihat
Pius A. Partanto dan M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya:
Penerbit Arkola. Hal. 517, 756.
[13] Sayyed
Hossein Nasr. Spiritualitas dan Seni
dalam Islam. Bandung: Mizan. 1993. Hal 58-59.
[14] Akhmad
Taufik. Sejarah Pemikiran dan Tokoh
Modernisme Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2005. Hal 214.
[15] Sayyed Hossein Nasr. Knowledge
and the Sacred. Pakistan: Suhail Academy, Lahore, 1988. Hal. 73.
[16]
Ahmad Norma Permata. Perennialisme:
Melacak Jejak Filsafat Abadi. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. 1996. Hal 146
[17]
Seyyed Hossein Nasr. Islam dalam Cita dan
Fakta. Terj. Abdurrahman Wahid dan Hashim Wahid. Jakarta: PT Panca Gemilang
Indah. 1983. Hal 10.
[18]
Seyyed Hossein Nasr. Knowledge and The
Sacred. Pakistan: Suhail Academy. Lahore. 1988. Hal 88
[19]
Seyyed Hossein Nasr. Traditional Islam in
The Modern Word. London: Worts-Power Associates. 1987. Hal 4-5.
[20] Filsafat perennial adalah nama lain dari metafisika Islam
sebagaimana dipahami Nasr.
[21] Nasr banyak merujuk pemahaman tentang esoteris dan eksoteris
Islam dari buku Frithjof Schuon
berjudul
Understanding Islam yang diterjemahkan dari bahasa aslinya berbahasa Perancis
berjudul Comprendre I’Islam oleh D.M. Matheson. Pertama kali diterbitkan oleh
Gallimard tahun 1961.
[22]
Seyyed Hossein Nasr. Islam Tradisi di
Tengah Kancah Manusia Modern. Terj Lukman Hakim. Bandung: Pustaka. 1994.
Hal 37.
[23]
Sayyed Hossein Nasr. Menjelajah Dunia
Modern. Jakarta: Mizan. 1994. Hal 37-39.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar